PENYIMPANGAN KONSTITUSI YANG PERNAH
BERLAKU DI INDONESIA
1.
Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesiadalam dua kurun waktu, yaitu
yang pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia, Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
2 Tanggal 10 Oktober 1945 diberlakukan surut mulai tanggal 17 Agustus 1945,
sampai denga]L mulai berlakunya Konstitusi ,RIS pada saat pengakuan kedaulatan
pada tanggal 27 Desember 1949. Yang kedua adalah dalam kurun waktu sejak
diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang, dan ini
terbagi pula atas masa Qrde Lama dan Orde Baru.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita telah
mencatat pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan
Undang-Undartg Dasar 1945 itu.
Dalam kurun waktu 1945 - 1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dilaksanakan dengan baik; karena. kita memang sedang dalam masa pancaroba,
dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita
proklamasikan, sedangkan pihak kolonial Belandajustru ingin menjajah kembali,
bekas jajahannya yang telah merdeka. Segala perhatian bangsa dan negara
diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam UndangUndang
Dasar 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat
diangkat Anggota DPA sementara, sedangkan MPR' dan DPR belum dapat dibentuk.
Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasalIV yang
menyatak:an bahwa: "SebelumMajelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk' inenurut Undang-Undang
Dasar ini, segala kekuasaarinya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Kornite
Nasional" .
Ada dua penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu
1945 - 1949 itu, yakni:
a)
berubahnya
fungsi Kornite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut' menetapkan garis-garis besar dari pada
haluan negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober,
1945.
b)
perubahan
sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Berdasarkan usul Badan
Pekerja Kornite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember
1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerirttah
tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Pre.sidensi~l berdasarkan UUD 1945
diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.
Sementara itu, pada tan'ggal 3 Nopember 1945 atas usul BP-KNIP, Pemerintah
'mengeluarkan suatu Maklurnat, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, tentang
pembentukan partai-partai politik. Tujuan Pemerintah ialah agar dengan adanya
partai-partai itu dapat dipimpin segala aliran paham yang ada di rnasyarakat ke
jalan yang teratur.
Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan 'pemerintahan (eksekutif) dipegang
oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai
anggota Kabinet. Secara bersarna-sama. atau sendiri-sendiri Perdana Menteri
dan/atau para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR,
tidak bertanggungjawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem inijelas l"engaruh negatifnya
terhadap stabilitas politik dan sta~ilitas pemerintahan.
Perlu diketahui, bahwa dalam masa revolusi fisik tahun 1945 - 1949 itu
sistem p~merintahan kita sering berubah dari sistem presidensial menjadi sistem
parlementer dan- sebaliknya. Namun perlu diingat, bahwa setiap kali negara
dalam keadaan gentiDg kita senantiasa kembali kepada sistem presidensial.
Berkat kebulatan tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus beIjuang
menegakkan kemerdekaan, maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945 --
meskipun telah terjadi penyimpangan -- akhimya bangsa Indonesia dapat
meglenangkan Perang Kemerdekaan.
Akhimya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, fihak
"Republik Proklarnasi" terpaksa menerima beidirinyaNegara Indonesia
yang lain dari yang kita proklarnasikan 'pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
didirikan berdasarkan UndanfUndang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945.Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi negara
Federasi Republik Indonesia' Serikat .(RIS),· berdasarkan pada Konstitusi RIS
dengan IT. Soekamo sebagai Ptesidennya. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku hanya
di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan
ibukota Yogyakarta.
2.
Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 27 Desenber 1049 s/d 17 Agutsu 1950
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan Konstitusi yang kedua
dari Negara kita dan berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus
1950, jadi lebih kuranghanya delapan bulan. Rancangan Konstitusi itu disepakati
bersarna di negara Belanda antara wakil-wakil pemerintah Republik Indonesia
dengan wakil-wakil pemerintah "negara" BFO (Bijeenkomst voor Federaal
Overleg), negara-negara buatan Belanda di luar'RI. Ini terjadi di kota pantai
Scheveningen tanggal29 Oktober 194 9, pada saat berlangsungnya Konperensi Meja
Bundar.
Pada tanggal' 14 Desember 1949 di Jakarta disetujui rancangan tersebut oleh
wakil-wakil pemerintah dan KNIP Republik Indonesia dan wakil masing-masing
pemerintah dan Dewan-dewan Perwakilan Rakyat negara-negara BFO. '
Akhirnya dalam sidang lanjutan pada konperensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag negeri Belanda, Rancangan Konstitusi RIS tersebut disetujui oleh semua
pihak.
Penyimpangan konstitusi pada masa ini antara lain dengan berubahannya
bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi (negara serikat), yakni negara
yang memiliki negara-negara bagian. Untunglah negara federasi RIS hanya
berlangsung sangat singkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat terasa
desakan-desakan untuk menjadikan RIS kembali menjadi Negara Kesatuan. Desakan
itu terutama datang dari, daerah-daerah yarig merasa tidak puas dengan terbentuknya
negara federalhasil KMB secta ingin bergabung dengan Rebulkik Indonesia
(Yogyakarta). Pembubaran dan penggabungan negara-negara bagian itu memang
dimungkinkan oleh Konstitusi RIS Pasa1 43 dan 44.
Sejarah menunjukkan bahwa pada bulan April 1950 tinggal negara bagian
Indonesia Timur dan Sumatera Timur saja1ah yang belum bergabung dengan 'negara.
RI Yogyakarta. Akhimya tercapailah kata sepakat antara negara RI Yogyakarta dan
negara RIS, yang sekaligus mewakili negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera
Timur untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama mendirikan satu
negara .kesatuan.
Persetujuan tersebut secara resmi dimuat dalam suatu Piagam Persetujuan
tang gal 19 Mei 1950. Proses selanjutnya adalah membuat rancangan peruQahan
konstitusi RIS menjadi UUDS. Republik Indonesia oleh pihak RIS dan Negara
Republik Indonesia (Yogyakarta). Pada tanggal 15 Agustus 1950 di depan rapat.
gabungan senat dan DPR-RIS, Presiden menyatakan bahwi\ rancangan perubahan
tersebut telah disetujui oleh pihak RIS dan negara RI Yogyakarta dan karena
,itu naskah UUD (Sementara) itu telah ditandatangani olehnya bersama Perdana
Menteri dan Menteri Kehakiman RIS serta kemudian diumumkan oleh M'enteri
Kehakiman dan berlaku mulai tailggal 17 Agustus 1950.
3.
Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 17 Agutus 1950 s/d 5 Juli 1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara
Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari
Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan
Undang-Undang Dasar Sementara yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (1950). Ini merupakan Konstitusi kita yang ketiga.
Penyimpang konstitusi pada masa ini adalah:
1.
Perubahan
sistem kabinet presidential menjadi sistem kabinet parlementer. Menurut
Undang-Undang Dasar baru ini sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
pemerintahan parlementer bukan sistem kabinet presidensial. Menurut sistem
pemerintahan parlementer itu Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar
Presiden konstitusional dan "tidak dapat diganggu gugat". Yang
bertanggung jawab adalah para Menteri kepada Parlemen (DPR).
2.
Undang-Undang
Dasar Sementara 1950, yang mtmganut sistem parlementer, berpijak pada landasan
pernikiran demokrasi liberal yang me.ngutamalcan pada kebebasan individu,
sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem presidensial berpijak pada
landasan Demokrasi Pancasila, yang berintikan' kerakyatan' yang dipimpiil oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Presiden bertanggtung
jawab kepada pemberi mandat,MRR,tidak kepada DPR.
Pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan akibatnya jelas
telah kita saksikan bersama, berupa kekacauan, balk di bidang politik, keamanan,
maupun ekonorni. Sebabnya ialah sistem Kabinet Parlemehter yang dianut UUDS
1950 menyebabkan tidak tercapainya stabilitas politik dan pemerintahan
dikarenakan sering bergantinya kabinet yang didasarkan kepada dukungan suara di
Parlemen. Dan tahun 1950 s/d 1959 telah terjadi pergantian
kabinet sebanyak tujuh kali yang dengan sendirinya menggambarkan; bahwa program
dari suatu kabinet tidak dapat dilaksanakan secara baik dan berkesinambungan.
Oleh karena itulah pada waktu itu telah timbul pendapat-pendapat dalam
masyarakat agar kita kembali saja kepada sistem kabinet presidensial, seperti
yang termuat di dalam UUD Proklamasi.
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pernilihan umum,
rnasing-masing untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Konstituante. Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu Rancangan
Undang-Undang Dasar sebagai pengganti UUDS .1950, yang menurut Pasal 134 akan
ditetapkan selekas-Iekasnya bersama-sama dengan pemerintah.
Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang Dasar maka Pasal 137
UUDS1950 menyatakati bahwa :
1.
Untuk
mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru jlka
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituannte harus
hadir;
2.
Rancangan
tersebut diterirna jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 .
dari jumlah anggota yang hadir;
3.
Rancangan
yang telah diterima oleh Konstituapte dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan
oleh Pemerintah;
4.
Pemerintah
harus mengesahkan rancangan itu dengari segera serta mengumumkan Undang-Undang
Dasar itu dengan keseluruhan.
Lebih dari dua tahun bersidang Konstituante belum berhasil merumuskan
Rancangan Undang-Undang Dasar baru. Perbedaan pendapat yang telah menjadi
perdebatan-perdebatan di dalam gedung Konstituante mengenai dasar negara telah
menjalar ke luar gedung Konstituante dan yang diperkirakan pula akan
menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat.
Dalam suasana seperti itu Presiden dalam pidatonya di depan sidang Konstituante
tanggal 22 April 1959 menyarankan "marilah kita kembali kepada Undang-Undang
Dasar 1945".
Saran untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima oleh
para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda".
Yang pertama, menerima saran kembali kepada UUD 1945 suara utuh, dan yang
kedua menghendaki kembalinya kepada UUD 1945 dengan suatu amandemen, yakni
dimasukkannya lagi tujuh kata "dengan kewajiban rrienjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya", pada sila pertama Pancasila dibelakang
"kata Ketuhanan” seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta ke dalam
Pembukaan UUD 1945.
Karena tidak memperoleh kemufakatan antara pandangan- pandangan yang
berbeda itu, maka Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pertama-tama diadakan Pemungutan suara terhadap
usul amandemen, dan dilaksanakan tanggal 29 Mei 1959. Usul amandemen itu tidak
memperoleh .suara dua pertiga dari anggota yang hadir. Anggota yang hadir waktu
itu 470 Orang, sedangkan yang menyetujui usul amandemen 201 orang
dan yang tidak menyetujuinya 265 orang.
Selanjutnya dilaksanakan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk
kembali ke UUD i94S. Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali.
Tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutaIi suara yang pertama dengan hasil
269 suara setuju dan 199 suara menolak. Karena persyaratan formal, yaitQ 2/3
dari jumlah anggota yang hadir sesuai dengan ketentuan pasal 137 UUDS 1950
tidak tefllenuhi, maka tanggal 1 Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara
yang kedua. Hasilnya adillah 264 suara setuju menerima usul untuk kembali ke
UUD 1945 dan 204 uara menolak, yapg jugatidak memenuhi kourum. Pemungutan suara
ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni 1945 dan secara rahasia dengan hasil 263
suara setuju dan 203 menolak, sehingga persyaratan formal juga tidak dapat
dipenuhi.
Sesuai dengan tata tertib Konstituante yang ditentukan, bahwa pemungutan
suara untuk amandemen dilakukan satu kali, dan kepada materi baru dilakukan
sebanyak tiga kali. Dengan demikian menunjukkan bahwa usul Pemerintahuntuk
kembali kepada UUD 1945 tidak mendapat persetujuan dari lembaga Konstituante
meskipun telah disetujui oleh lebih dari setengah anggotanya .
Sehari setelah pemungutan suara yang ketiga kalinya itu, Konstituante
menjalani reses. Selama reses itu lebih dari separoh anggota Konstituante
meriyatakan, bahwa setelah reses nanti mereka tidak akan menghadiri Sidang
lagi. Ini berarti bahwa Konstituante gagal dalam tugasnya untuk menetapkan UUD
yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Keadaan itu dianggap oleh Presiden
sebagai keadaaan yang dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa dan
negara.
4.
Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Dalam keadaan yang menurut pandangan Kepala Negara (presiden) menimbulkan
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara,
nusa, dan bangsa. Maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959. Tindakan Presiden mengeluarkan Dekrit tersebut dibenarkan berdasarkan
hukum darurat negara (staatsnoodrecht).
Berdasarkan alasan yang kuat seperti dikemukan di atas, dan dengan dukungan
dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden
pada tanggal 5 Juii 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Diktum Dekrit Presiden itu adalah :
1.
Menetapkan
pembubaran Konstituante;
2.
Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulaihari tanggal penetapan Dekrit ini, dan
tidak berlakunya lagi UndangUndang Dasar Sementara 1950;
3.
Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agurtg Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit itu dibacakan-secara lisan oleh Presiden di Istana Merdeka pada
tanggal 5 Juli 1959, hari Minggu pukul 17 .00 waktu Jawa. Dekrit itu
kemudian diumumkan dengan Keputusan Presiden NO.150 tahun 1959 yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia NO.75 tahun 1959. Pada Lembaran Negara
itu dilampirkan satu naskah Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun esensinya sama, namun lampiran pada Lembaran Negara NO.75 tahun
1959 itu tidak seluruhnya sama bunyinya dengan naskah Undang- Undang Dasar 1945
yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dimual dalam aerita
Republik Indonesia Tahun II NO.7 tanggal 15 Pebruari 1946. Karena salah satu
diktum Dekrit jelas menyatakan “Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi
bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia .... "
maka yang dimaksud adalah naskah Undang-Undang Dasar yang ditetapkan oleh PPKI
dan dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Adapun naskah
sebagai lampiran Keeputusan Presiden No.150 tahun 1959 yang dimuat dalam
lembaran Negara No. 75 tahun 1959 itu pada hakikatnya berfungsi sebagai
kelengkapan dalam mengumumkan secara tertulis Dekrit Presiden itu.
Sejak 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak
pengalarnan yang kita peroleh dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945.
Apabila diadakan perbandingan mengenai pelaksanaan Undang- Undang Dasar 1945
untuk kurun waktu antara 1959 - 1965 (Orde Lama) dan kurun waktu 1966 hingga
kini (Qrde Baru), maka jelas terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah
dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Dalam Orde Lama, lembaga-Iembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum
dibentuk berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam
Undang-Und/lIlg Dasar 1945; lembaga-Iembaga negara tersebut masih "dalam
bentuk· sementara. Belum lagi jika kita mengupas 'tentang berfungsinya
lembaga-Iembaga negara tersebut telah sesuai 'atau tidak dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 .
Beberapa penyimpangan konstitusi sejak tahun 1959 (orde lama) sampai
dengan lahirnya Orde Baru antara lain:
1)
Pada masa
Orde Lama itu Presiden, selaku' pemegang kekuasaan eksekutif, dan pemegang
kekuasaan legislatif -- bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat -- telah
menggunakan kekuasaannya dengan tjdak semestinya. Presiden telah mengeluarkan
produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-undang (sehingga sesuai
UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden, tanpa
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2)
MPRS,
dengan Ketetapan NO.I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang beIjudul "Penemuan Kembali Revolusi
Kita" yang lebih dikenal dengan
3)
Manifesto
Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap,
yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
4)
MPRS telah
mengambil putusan untuk mengangkat Ir. Soekamo sebagai Presiden seumur hidup.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menetapkan masa jabatan Presiden,lima tahun.
5)
Hak budget
DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan
Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DJ>R sebelum
berlakunya .tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena.DPR
tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang
diajukanoleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR basil Pemilihan
Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.
6)
Pimpinan
lembaga-Iembaga negara dijadikan menteri-menteri negara sedangkan Presiden
sendiri menjadi ketua D"PA, yang semuanya tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Inilah beberapa contoh kasus penyimpangan
konstitusional yang serius terhadap pelaksanaan Undang-Dasar 1945 .
Penyimpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkanjuga telah
mengakibatkan membu:ruknya keadaan politik dan keamaan serta terjadinya
kemerosotan di bidang ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan
G-30-S. PKL Pemberontakan G-3Q-S PKI yang dapat·digagalkan berkat kewaspadaan
dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat telah mendorong lahimya Orde
Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
secara mumi dan konsekuen.
5.
Penyimpangan
Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Orde Baru yang lahir dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen; ternyata tidak mampu
melakukannya. Bahkan pada masa Orde Baru ini telah pula terjadi penyimpangan
konstitusional, diantaranya:
1)
Pembatasan
hak-hak politik rakyat Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia dibatasi
hanya 3 buah saja (PPP, Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan politik harus
mendapat ijin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi pemerintah dapat
membreidel penerbitan pers (Tempo, Editor, Sinar Harapan dan lain-lain). Para
pengeritik pemerintah dikucilkan secara politik, atau bahkan diculik. Pegawai
Negeri dan ABRI diharuskan mendukung partai penguasa, Golkar. Hal-hal tersebut
di atas bertentangan dengan UUD 1945 terutama dalam kaitannya dengan
pasal-pasal yang berkenaan dengan Hak-hak Asasi Manusia
2)
Pemusatan
kekuasaan di tangan presiden : walaupun secara formal lembaga negara (MPR, DPR,
MA, dan lain-lain) mempunyai fungsi yang semestinya, namun dalam praktek
melalui mekanisme politik tertentu Presiden dapat mengendalikan berbagai
lembaga negara di luar dirinya.
6. Penyimpangan Pada Era Global (Reformasi)
Berbagai penyimpangan telah terjadi selama era Reformasi, antara lain:
a.
Belum
terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan perudang-undangan
menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan perbaikan
dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
b.
Kasus
pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa pemerintahan
Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak karena tidak
dipikirkan penggantinya.
c.
Ada
perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan
Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”, kemudian
MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar haluan negara.
d.
Baik pada
masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum terselesaikan
masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman disintegrasi
lainnya.
e.
Belum
maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus pelanggaran
HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi,
kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta
kerukunan beragama
Contoh Kasus Penyimpagan
Kasus Hambalang, Pejabat Kempora Diperiksa KPK
Kasus Hambalang, Pejabat Kempora Diperiksa KPK
Jakarta - Kepala Bidang Manajemen Industri Olahraga Kementerian Pemuda
dan Olahraga(Kempora) Dedi Rosadi diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi
pengadaan proyek pembangunan pusat pelatihan pendidikan dan sekolah olahraga
nasional, Bukit Hambalang, Jawa Barat.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan,
Dedi diperiksa sebagai saksi untuk tiga orang tersangka, yaitu Deddy Kusdinar,
Andi Alifian Mallarangeng dan Teuku Bagus M Noor.
"Hari ini kami jadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Bidang Manajemen
Industri Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Dedi Rosadi sebagai saksi
untuk tiga tersangka," kata Priharsa di kantor KPK, Rabu (24/4).
KPK sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus Hambalang.
Mereka adalah Andi Alifian Mallarangeng, Deddy Kusdinar, Anas Urbaningrum dan
Teuku Bagus.
Andi ditetapkan menjadi tersangka pada Desember tahun lalu. Andi berstatus
tersangka dalam kapasitasnya sebagai menteri pemuda dan olahraga dan pengguna
anggaran proyek Hambalang.
Ia disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang
(UU) 30/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 3 mengatur soal penyalahgunaan kewenangan yang meyebabkan kerugian
negara. Sementara Pasal 2 Ayat (1) melakukan pelanggaran hukum yang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kempora), Deddy Kusdinar sebagai tersangka kasus pengadaan pembangunan sarana
dan prasarana Pusat Pelatihan dan Olahraga Bukit Hambalang, Jawa Barat.
Deddy ditetapkan tersangka terkait jabatannya dulu sebagai kepala biro
perencanaan Kempora. Deddy diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai
pejabat pembuat komitmen (PPK).
Kepada Deddy, KPK menyangkakan pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3
Undang-Undang No.31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal
55 Ayat (1) kesatu KUHP.
Sementara eks Direktur Operasi sekaligus Kepala Divisi Konstruksi 1 non
aktif PT Adhi Karya, Teuku Bagus Mokhamad Noor sebagai tersangka karena
melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang No.31/1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kaspenerimaan hadiah atau
janji terkait proses perencanaan pelaksnaan pembangunan sport center hambalang
dan atau proyek-proyek lainnya.
Anas ditetapkan menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR
2009-2014.
KPK menyangkakan Anas melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau
pasal 11 Undang-Undang No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK mulai menyelidiki kasus Hambalang sejak Agustus 2011. Setidaknya ada
dua peristiwa yang terindikasi korupsi dalam proyek Hambalang yangg ditaksir KPK
mencapai Rp 2,5 triliun.
Pertama, pada proses penerbitan sertifikat tanah Hambalang di Jawa Barat.
Kedua, pengadaan proyek Hambalang yang dilakukan secara multi years.
Pengadaan proyek Hambalang ditangani Kerjasama Operasi (KSO) PT Adhi Karya
dan PT Wijaya Karya.
Alasan mengapa kasus hambalang dijadikan contoh kasus penyimpangan negara
konstitusi di indonesia karena Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka dan
beliau sebagai menteri pemuda dan olahraga melakukan pelanggaran hukum yang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan penyalahgunaan kewenangan yang
meyebabkan kerugian negara.
makasih ilmunya :D
BalasHapusjuna : yups sama2 :D
Hapusada foto dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 gak gan?
BalasHapusherry : wah untuk foto tersebut saya ga ada gan, sorry ya
Hapus